Sabtu, 28 September 2013

Pasir Kelud ladang bisnis aparat & pengusaha


Jawa Timur
Solichan Arif
Minggu,  29 September 2013  −  10:40 WIB
Pasir Kelud ladang bisnis aparat & pengusaha
Foto: Solichan Arif/Koran Sindo
Pasir Kelud ladang bisnis aparat & pengusaha
Sindonews.com - Meski sudah dioperasi (razia) berkali-kali, pencurian pasir dan batu tak juga berhenti. Alat berat dan mesin mekanik penyedot pasir tetap marak berdatangan.

Sumber daya alam yang terhampar mulai bawah kaki gunung (hulu) hingga sepanjang sungai Brantas (hilir) tetap dikeruk habis-habisan.

Ada beberapa golongan yang sengaja menjamin (beking) eksploitasi sumber daya alam tersebut tetap berlangsung aman.

Mereka adalah sejumlah oknum kepolisian, Satpol PP, brokrasi  pemerintahan, hingga tingkat terbawah penguasa desa setempat.

Polanya klasik, dari model upeti  harian, setoran rutin bulanan, mensiagakan preman, hingga terlibat langsung sebagai pemilik piranti (alat berat) pengerukan.

Dugaan tersebut menguat pasca razia penggerebekan tambang pasir ilegal di kawasan Sungai Bladak, lereng Gunung Kelud, Desa Kedawung, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar.

"Setiap penambang yang memiliki alat berat (bego) wajib membayar Rp2 juta per bulan kepada petugas yang turun ke lapangan. Pembayaran biasanya dilakukan tanggal 20, " tutur Ny Kholiatin, 33 warga Desa Kedawung kepada wartawan, Minggu (29/9/2013).

Tidak berlebihan jika material pasir dapat juga digolongkan sebagai "emas hitam". Produksi alam dari perut bumi yang dilontarkan melalui letusan gunung berapi itu dalam sekejap mampu menggelembungkan pundi keuangan.

Warga yang bermukim terdekat dengan lokasi, secara sepihak mengklaim petak lokasi tambang sebagai miliknya.

Uniknya, pihak desa hampir selalu terlibat sebagai penyaksi sekaligus pembuat keputusan status petak milik siapa.

Konsep kerja sama eksploitasi adalah dengan menyewakan petak kepada pengusaha pemilik bego.

Perhitunganya, setiap satu rit pasir  (kapasitas 8 kubik) yang diambil dari lokasi, pemilik modal membayar ke pemilik lahan sebesar Rp50 ribu. Setiap harinya pengerukan pasir per petak bisa mencapai 70-100 rit.

Kemudian pasir yang telah siap menjadi material bangunan tersebut dijual ke luar dengan harga Rp150 ribu-Rp250 ribu per rit.

Bahkan untuk pasokan ke luar Blitar, misalnya wilayah eks karsidenan Madiun, nilai ekonomis pasir bisa melambung lebih tinggi, yakni Rp500 ribu-Rp 600 ribu per ritnya.

Sementara seperti diketahui eksploitasi pasir di wilayah sungai kantong lahar berlangsung non stop tanpa mengenal batas waktu dan hari.

Secara kuantitas, piranti transportasi (truk) yang keluar masuk lokasi pertambangan mencapai ratusan unit per hari.

"Pengerukan hanya berhenti kalau ada kerusakan pada mesin Bego. Tapi itu tidak berlangsung lama. Begitu berfungsi, langsung bekerja lagi, "terang Kholiatin.

Menurut penuturan Kholiatin, pengerukan pasir dengan menggunakan alat berat baru berlangsung sekitar satu tahunan. Sebelumnya masyarakat menggunakan perangkat manual.

Ekspansi alat berat itu setelah Kementrian PU mengeluarkan SK No 41.02.16. Mu/485 tahun 2012 yang intinya melarang eksploitasi di sepanjang Sungai Brantas dan mengalihkan ke kantong lahar Gunung Kelud.

Catatanya, pengerukan hanya diperbolehkan manual tanpa menggunakan alat berat dan semacamnya.

Dari data yang diperoleh Sindo di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Blitar, jumlah alat berat  (bego) yang ada di lapangan mencapai 65 unit.

Bego-bego tersebut tersebar merata di seluruh kantong lahar mulai wilayah Kecamatan Ponggok dan Nglegok. "Dengan Bego, proses pengerukan tentu bisa berjalan lebih cepat. Efisien waktu dan tenaga," jelasnya.

Kholiatin adalah istri Hafidz Asrofi (43) yakni satu dari tiga orang warga setempat yang ditangkap dan ditetapkan aparat sebagai tersangka penambang pasir liar.

Hafidz, Karyono dan Siswanto tak sempat melarikan diri saat petugas  tiba di lokasi. Sementara rekan-rekanya yang terdiri dari pemilik kendaraan, sopir truk, operator alat berat dan pekerja kasar lainya berhasil kabur.

Langsung di bawah komando  Kapolres Kota Blitar AKBP Indarto (Sekarang Kapolres Kabupaten Blitar), polisi juga mengamankan tiga unit alat berat jenis bego dan 12 unit truk pengangkut pasir.

"Semua yang berhasil diamankan langsung dibawa ke mapolres. Termasuk suami saya langsung dijebloskan ke dalam tahanan," terangnya.

Berhentikah aktivitas penambangan pasir di kawasan lereng Gunung Kelud?. Ternyata tidak. Sehari pasca razia, sebuah truk trailer menurunkan lagi alat berat (bego) di lokasi razia.

Bego pun bekerja seperti semula, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Ironisnya, trailer yang digunakan mengangkut adalah kendaraan yang sama untuk membawa bego yang sehari sebelumnya menjadi barang bukti sitaan.

"Bisa dilihat lagi ke lapangan. Aktivitas tetap berjalan lagi seperti semula, "terangnya.

Informasi yang dihimpun Sindo, beberapa oknum polisi berpangkat perwira di wilayah Kepolisian Sektor Srengat sebagai pemilik sejumlah alat berat.

Karenanya, selain selalu lolos dari razia, para oknum itu selalu bisa melakukan eksploitasi pasir dengan aman dan nyaman.

"Semua warga di penambangan sini (Desa Kedawung) tahu, oknum polisi siapa yang menjadi pemilik Bego," papar Kholiatin.

Dugaan sarat permainan semakin menguat tatkala Siswanto yang ditangkap bersama Karyono dan Hafidz tiba-tiba dilepas tanpa alasan yang jelas.

Kholiatin pun menuntut keadilan. Jika suaminya dianggap bersalah dan dihukum, ibu dua anak itu meminta semua yang terlibat juga harus dihukum.

Oleh sejumlah pihak dirinya mengaku sempat ditekan untuk tidak menyampaikan masalah ini ke media. Janjinya perkara yang membelit suaminya akan diselesaikan.

Namun dengan syarat, Kholiatin bisa menyediakan uang  Rp5 juta sebagai ongkos penangguhan tahanan suaminya.

"Suami saya diperlakukan tidak adil. Saya ingin menuntut, tapi harus menyampaikan kemana? Sementara faktanya, polisi melepas satu orang yang jelas-jelas juga terlibat. Kalau disuruh membayar Rp5 juta, kami orang yang tidak memiliki uang untuk itu," keluhnya.

Kepala Desa Kedawung Budi Djatmiko tidak membantah jika banyak pihak yang berkepentingan dalam eksploitasi pasir.

Karenanya ia menuding polisi yang tengah melakukan penegakan hukum (razia) masih bersifat tebang pilih.

"Sebab fakta yang ada di lapangan pemilik truk dan Bego tidak diproses secara hukum. Mereka yang harusnya juga ditangkap tetapi dibiarkan begitu saja," ujarnya.

Secara terpisah Kepala Dinas PU Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Blitar Sumantri membenarkan jika penggunaan alat berat dilarang dalam praktik pertambangan pasir di wilayah kantong lahar.

"Dan yang bisa melakukan penindakan memang kepolisian dan pejabat penyidik pegawai negeri sipil (PPNS)," ujarnya.

Yang dilakukan Pemkab saat ini adalah terus melakukan sosialisasi ke masyarakat. Termasuk juga dengan meluruskan asumsi bahwa yang berwenang melakukan normalisasi sungai lahar hanya aparat pemerintah.

Pasalnya muncul anggapan dengan dalih normalisasi masyarakat bebas melakukan pengerukan dengan alat apa saja.

"Sebab hasil pengerukan itu juga menjadi pemasukan pemerintah, "jelasnya.

Sementara Kapolres Kota Blitar yang baru saja dilantik belum bisa dikonfirmasi.

Namun sebelumnya AKBP Indarto (sekarang Kapolres Kabupaten Blitar) yang memimpin razia mengatakan pihaknya dalam rangka menegakkan hukum illegal minning.

Tidak hanya di wilayah Desa Kedawung, praktik pencurian pasir dengan alat berat dan mekanik juga terjadi di sepanjang sungai Brantas wilayah Desa Kunir dan Desa Gandekan, Kecamatan Wonodadi.

Akibat yang ditimbulkan tidak hanya menghancurkan lingkungan sekitar pertambangan, tapi juga merusak jalan yang ada.

"Para pelaku akan dijerat dengan UU Minerba dengan ancaman hukuman diatas 5 tahun penjara," tegasnya saat itu.

Seperti diketahui, razia pasir digelar besar-besaran oleh Indarto beberapa hari sebelum dirinya mutasi sebagai Kapolres Kabupaten Blitar.

Sementara dari pantauan Sindo di lapangan, praktik yang sama (pencurian pasir) juga terjadi di sepanjang sungai Brantas wilayah hukum Kabupaten Tulungagung hingga  Kabupaten Kediri.

Di wilayah Kecamatan Rejotangan,  Ngunut, Sumbergempol, hingga Karangrejo Kabupaten Tulungagung, eksploitasi besar-besaran terjadi bertahun-tahun.

Untuk efek jera, Kasatreskrim Polres Tulungagung AKP Lahuri berjanji mengganjar para pelaku dengan ancaman hukuman hingga 10 tahun penjara.

Meskipun sejumlah aktivis dan tokoh masyarakat meragukan janji penegakan hukum tersebut bisa terealisasi. "Semua akan kita razia dan kita beri hukuman yang bisa membuat efek jera," janjinya.

Sumber ; http://daerah.sindonews.com/read/2013/09/29/23/788612/pasir-kelud-ladang-bisnis-aparat-pengusaha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar